Membela yang Tidak Dibela

HARI PERTAMA 2025. Itulah janji awal kami. Tetapi hidup, seperti biasa, punya rencana lain. Malaka lahir empat bulan lebih lambat, bukan karena kami terlena, tetapi karena kami tahu kehadiran ini tidak bisa setengah-setengah. Tampilan website harus luar biasa, karena selain mahal, ia adalah tempat Malaka bicara tentang kemunafikan di kota ini, provinsi ini.

Sekarang, mari bicara soal biaya. malakapost.com mungkin adalah website berita termahal di Batam, atau setidaknya, itulah yang kami yakini. Tagihan awalnya saja sudah tembus Rp50 juta. Lima puluh juta hanya untuk fondasi digital? Itu baru permulaan. Namun, ini bukan sekadar tentang uang. Ini tentang membangun sesuatu yang jauh lebih besar. Dan kami membicarakannya bukan cuma untuk pamer, tetapi untuk menunjukkan bahwa kami serius dalam jurnalisme. Malaka bukan tipe media yang bermodal tiga juta, lalu menyemak di dunia digital.

Ah, begini. Melalui esai ini kami juga ingin memperjelas satu hal: Malaka tidak akan pernah menulis tentang kejahatan ringan. Titik.

Sikap itu lahir dari rasa muak terhadap jurnalisme hari ini; di kota ini, di negara ini. Coba kaubaca internet dan lihat apa yang ada di media. Orang miskin dipermalukan; identitas penjahat kelas teri diumbar. Sementara koruptor dilindungi; namanya hanya disebut dengan inisial. Menulis tentang pencuri kotak infak, maling motor, bandar ganja kecil, waria yang mempromosikan judi, hingga sabung ayam tidak terasa seperti jurnalisme bagi kami.

Lalu, apakah kami akan menyalahkan para wartawan? Tentu tidak. Kami tahu siapa yang perlu disorot: ikan-ikan besar, pemimpin redaksi dan pemilik media. Para wartawan, kami yakin, merasakan kegelisahan yang sama. Mereka tahu ada sesuatu yang salah. Tetapi apa pula yang bisa mereka lakukan sebagai pekerja? Mereka tidak punya banyak pilihan karena dituntut menulis sepanjang waktu, 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, demi mengejar berita receh terbaru.

Sialannya, upah mereka sering kali tidak sepadan. Rata-rata media di kota ini menggaji wartawan cuma Rp2 juta. Banyak dari mereka bahkan bekerja hanya bermodal kartu pers, yang lebih sering menjadi simbol pemerasan daripada alat profesional. Dalam realitas pahit ini hampir mustahil mengharapkan berita-berita berkualitas.

Dan kami ingin bicara dengan jujur. Media arus utama yang terus mengendalikan narasi telah menjadi dosa kolektif yang diwariskan oleh generasi wartawan sebelumnya. Para pemimpin redaksi dan bos media, yang lagaknya seperti mafia, memiliki andil besar dalam menciptakan kondisi nan memilukan ini. Kami tidak akan menyerang para wartawan di lapangan. Kami membela mereka.

Namun, kami tidak ingin pembelaan ini salah tempat. Jangan sampai pernyataan sikap ini dimaknai sebatas ego jurnalistik atau romantisme kosong. Kawan-kawan, kami ingin katakan ini dengan tegas: selama kita terus-terusan menerbitkan berita yang mengumbar aib tanpa nilai, sulit rasanya kita tidak lagi menjadi musuh masyarakat. Ipsos, lembaga riset global yang berbasis di Paris, telah menempatkan profesi kita di urutan kesepuluh paling tidak dipercaya. Ini bukan prestasi. Ini memalukan.

Kita harus berhenti merayakan statistik buruk ini seolah itu hanya kesalahan kecil. Ini adalah tanda bahaya, peringatan keras bahwa jurnalisme yang kita lakukan hari ini mungkin sedang menggali kuburannya sendiri.

Kita Jahat dan Tidak Adil

Kemorosotan kepercayaan itu terjadi karena ada yang salah dengan cara kita, para wartawan, memandang keadilan. Kita terbiasa melihat kejahatan sebagai hitam dan putih, tanpa melihat abu-abu di dalamnya. Ketika seorang pencuri kotak infak tertangkap, kita langsung menyebutnya penjahat. Kita tulis nama mereka, kita pampang wajah mereka, bahkan mempublikasikan alamat mereka. Kita jadikan mereka sasaran empuk penghukuman publik.

Orang mencuri kotak infak mungkin karena lapar. Mungkin anak-anak mereka butuh susu atau obat. Mungkin mereka kehilangan pekerjaan, harga diri, atau kepercayaan pada sistem yang tidak adil. Tetapi apa yang kita lakukan? Kita jadikan mereka headline, seolah-olah mereka ancaman terbesar di republik ini.

Kita lupa, bukankah uang di dalam kotak infak itu disumbangkan untuk membantu orang-orang seperti mereka? Orang-orang yang terjebak dalam kemiskinan, yang dihantam hidup tanpa ampun. Namun, alih-alih memahami, kita memilih mempermalukan. Kita memilih menghancurkan sisa martabat yang mereka miliki. Ah Tuhan, betapa kejamnya kami.

Begitu juga dengan maling motor. Sebagian besar pelakunya adalah remaja, atau mereka yang baru saja memasuki usia dewasa, tetapi belum siap menghadapi hidup. Mereka mungkin mencuri karena terjebak dalam lingkungan yang keras, karena kemiskinan, atau karena putus asa. Namun, apa yang kita lakukan? Kita jadikan mereka bahan olok-olok di media sosial. Kita biarkan masyarakat melucuti sisa kemanusiaannya dengan pukulan dan penghinaan.

Foto mereka diarak seperti trofi di portal berita, lengkap dengan wajah penuh ketakutan dan memar. Kita tidak pernah bertanya, apa yang membawa mereka ke titik kriminal itu? Dan yang lebih mengerikan, sebagian dari kita bahkan tak peduli, apalagi mempertanyakan, mengapa kaki mereka sering ditembak. Apakah itu memang prosedur? Apakah itu keadilan? Atau itu hanya cara lain untuk menunjukkan kekuasaan yang rapuh?

Kawan-kawan kita harus adil, bahkan sejak dalam pikiran. Kami tahu, keadilan tidak dimulai dari ruang redaksi. Tetapi apakah benar ini adalah keadilan versi kita: menyebar konten berdarah pencuri motor yang dihajar habis-habisan. Kotak infak yang hilang? Oh, itu headline besar, diiringi video CCTV untuk memuaskan dahaga publik akan penghukuman instan. Pemakai ganja? Jelas-jelas penjahat paling berbahaya, ancaman bagi moral bangsa, meski kita tahu lintingan itu cuma pelarian murahan dari hidup yang terlalu berat untuk ditanggung.

Dan berbicara tentang narkoba. Apakah kita tidak seharusnya mendalami kejahatan yang dilakukan oleh mantan Kepala Satuan Reserse Narkoba Polresta Barelang, Kompol Satria Nanda? Dia menjual barang bukti sabu-sabu kepada bandar narkoba. Apakah benar barang bukti yang dijual hanya satu kilogram? Kenapa kita tidak datang ke penjara, bertanya langsung kepada para bandar yang pernah ditangkapnya? Berapa sebenarnya total barang bukti mereka ketika ditangkap? Malaka akan mencari tahu. 

Kami tidak akan berhenti pada narasi yang setengah matang. Malaka punya satu pesan untuk para pembaca: siapa pun di antara kalian yang memiliki cerita, baik maupun buruk, tentang satuan yang pernah dipimpin oleh Satria Nanda, silakan datang kepada kami. Entah kalian korban pemerasan, saksi pelanggaran, atau sekadar punya pengalaman yang patut dibagikan.

Kami akan mendengarkan. Kami akan mencatat. Dan kami akan menceritakan kisah itu dengan jujur, mungkin juga tanpa ampun. Silakan kirim laporan Anda ke email redaksi: liputan@malakapost.com

Karena kalau perang melawan kejahatan ini hanyalah panggung sandiwara, maka sudah saatnya kita merobohkan tirainya.

Etika Cuma Formalitas

Keadilan sering terasa berat bagi mereka yang hidup di pinggir batas. Di kota ini, kelompok lemah selalu menjadi sasaran empuk hukum dan opini publik.

Ambil saja contoh ini: waria. Pada Oktober 2024, empat waria di Batam ditangkap karena mempromosikan judi online. Berita itu langsung meledak menjadi headline. Media berlomba-lomba menampilkan foto mereka, meski wajahnya tertutup masker. Foto-foto itu diambil dari jarak dua jengkal, sengaja dipertontonkan seolah mereka adalah penjahat kelas kakap. Nama mereka disebut dengan inisial, tetapi apa bedanya? Dengan konferensi pers semacam itu, mereka dipukul dua kali: oleh hukum dan oleh opini publik.

Waria bagi kami adalah penjahat paling tak beruntung di dunia. Mereka dihukum bukan hanya karena tindakan mereka, tetapi juga karena identitas mereka. Mereka adalah target mudah, kambing hitam yang ideal dalam masyarakat yang lebih sibuk mencari siapa yang salah daripada apa yang salah.

Dan kami akan membela mereka yang tidak pernah dibela. Bukan untuk membenarkan laku kriminal, tetapi untuk mengingatkan bahwa keadilan adalah hak semua orang, tidak peduli seberapa kecil, lemah, atau terpinggirkannya mereka. Sebab keadilan bukan hadiah bagi yang berkuasa; ia adalah hak yang harus dijaga untuk semua.

Namun sebelum itu, izinkan kami menyampaikan satu hal: ada media yang melakukan hal yang jauh lebih konyol. Mereka menyamarkan wajah, menggunakan inisial nama, tetapi tetap menuliskan nama akun Instagram si waria. Apa gunanya sensor seperti itu? Tindakan semacam ini ibarat menyerahkan kunci kepada publik sambil berpura-pura bahwa pintunya terkunci rapat. Sekilas tampak seolah mematuhi kode etik, padahal justru membuka jalan bagi penghukuman sosial yang lebih brutal.

Dan mari kita bertanya: apakah berita itu benar-benar perlu? Ataukah ini hanya cara memuaskan rasa ingin tahu yang tak bermoral, dengan menjadikan aib seseorang sebagai komoditas? Jika begini caranya, apa gunanya bicara soal etika!

Kali ini, media konyol itu kami maafkan. Tetapi jika kesalahan serupa terus diulang, nama media mereka akan kami jadikan judul. Biar publik tahu siapa yang melanggar, siapa yang sebenarnya tak punya etika.

Oh ya, banyak juga media yang rajin menginisialkan nama pelaku, tetapi dengan sadar menunjukkan wajah mereka dengan jelas di video sosial medianya. Inilah kedunguan kelas atas. Mereka menginisialkan nama hanya karena polisi tidak memberitahu siapa nama lengkap pelakunya. Kalau diberitahu? Tentu saja, media akan berlomba-lomba mencantumkan nama lengkap, alamat rumah, bahkan mungkin nama hewan peliharaannya.

Dosa Wartawan: Diam

Di kota ini, perjudian besar berjalan seperti rahasia umum. Korupsi? Ah, ia selalu terselubung rapi di balik jatah bulanan. Dan apa yang kita lakukan? Diam. Kita semua tahu apa yang terjadi, tetapi tetap saja, kita memilih menulis sesuatu yang receh.

Lihatlah kasus judi kecil yang meledak jadi headline. “Penegakan hukum,” katanya. Tetapi coba bandingkan dengan gelanggang perjudian besar di kota ini. Atau, pergilah kau ke diskotik. Masuk ke ruang VIP, mulai lah bermain judi pimpong, dan lihat sendiri bagaimana uang bertukar diiringi tawa yang terlalu keras, terlalu mabuk. Lalu pulanglah. Tulis laporan itu. Tetapi siapa yang akan mempublikasikannya? Tidak ada. Tidak ada headline. Mengapa? Mungkin setorannya cukup besar untuk membungkam mulut semua pihak, termasuk kita.

Ini bukan lagi semata tentang hukum. Ini tentang siapa yang punya kuasa. Kita menghancurkan mereka yang sudah hancur, yang miskin, yang takbisa membayar berita. Tetapi mereka yang besar? Dibiarkan melenggang bebas, tertawa di atas meja judi.

Dan ini dosa kita, dosa wartawan: kita tahu ini salah, tapi kita membiarkannya. Kita tahu ini busuk, tapi kita memilih diam. Kita tahu siapa yang salah, tapi kita memilih meliput yang kecil, yang lemah, yang takbisa melawan. Ini bukan lagi jurnalisme. Ini pengecut.

Kisah Hunter Pauli

Jadi, begitulah. Kami menulis ini bukan untuk membuat nyaman. Kami menulis untuk mengundang tawa pahit, sebagai pengingat bahwa keadilan di negeri ini sering kali hanyalah sandiwara murahan. Dan mari kita akui bersama-sama: sebagai penonton, kita sudah terlalu lama duduk diam di kursi, menikmati dramanya tanpa pernah bertanya mengapa aktor utamanya selalu orang miskin, yang kalah, yang lemah.

Untuk memperjelas sikap ini, kami ingin menceritakan sebuah kisah dari Butte, Montana. Tujuh tahun lalu, seorang wartawan media lokal bernama Hunter Pauli memilih mundur dari dunia kewartawanan. Ia berhenti, lalu menulis surat terbuka yang cukup panjang untuk menjelaskan alasannya. Alasan itu sebenarnya sederhana: media bisa menghancurkan hidup seseorang hanya demi klik.

Surat itu menjadi tamparan keras bagi jurnalisme Amerika. The Guardian menerbitkannya, dan Columbia Journalism Review membahasnya dengan cukup serius. Pauli membuka suratnya dengan cerita tentang seorang penjahat kelas teri di kotanya yang dijuluki polisi sebagai “Dickface” karena tato wajahnya yang aneh, memanjang dari dahi hingga rahang.

Dickface adalah seorang pemuda yang dijatuhi hukuman 75 tahun penjara karena mencuri barang yang terlalu mahal saat masih muda dan ceroboh. Ia dikirim ke Montana State Prison, yang oleh Departemen Kehakiman setempat disebut sebagai penjara terburuk karena banyak kasus kekerasan seksual di dalamnya. Di tempat itulah Dickface mulai melukai dirinya sendiri. Ia kemudian dipindahkan ke rumah sakit jiwa untuk pemeriksaan kesehatan mental, dan sempat mencoba melarikan diri sesudahnya.

Namun dalam pelariannya, sorotan media hanya tertuju pada aksi kejar-kejaran dramatis. Takada yang bertanya mengapa Dickface melukai dirinya, apa yang merusak mentalnya, atau bagaimana seorang kriminal kecil bisa diperlakukan seolah dia penjahat paling berbahaya di Amerika.

Bagi Pauli, wartawan sering kali ikut melanggengkan siklus kemiskinan dan kejahatan, meskipun tanpa disadari. Ia berpendapat bahwa berita-berita kriminal kecil yang muncul setiap hari sesungguhnya memiliki dampak besar dan merusak dalam jangka panjang.

Menurut Pauli, jika media terus memberitakan kasus-kasus kecil, banyak hal yang akan rusak. Pembaca bisa kehilangan empati, kualitas informasi jadi menurun, dan pelaku kejahatan kecil dihukum dua kali: pertama oleh hukum, kedua oleh pemberitaan. Pauli membayangkan nasib Dickface dan orang-orang lain yang pernah melakukan kesalahan kecil setelah kisah mereka viral. Bagaimana mereka bisa mendapat pekerjaan kelak setelah bebas? Bagaimana mereka bisa mencari nafkah secara jujur dan menjauhi kejahatan, jika internet telah mengabadikan mereka semata sebagai penjahat?

Itulah yang membuat Pauli akhirnya mundur. Ia mulai dengan menolak perintah redaksinya untuk menulis berita tentang pencurian kecil di supermarket, lalu menolak meliput penangkapan pengguna narkoba ringan. Semua itu ia lakukan karena satu pertanyaan yang terus muncul di kepalanya: mengapa wartawan merasa kejahatan kecil selalu layak diberitakan?

Yang perlu kami sampaikan adalah, Pauli tidak berhenti karena gajinya kecil. Meski harus diakui, jurnalisme memang tidak menjanjikan kekayaan. Ia juga tidak berhenti karena bos yang menyebalkan. Bukan itu. Pauli berhenti karena ia muak. Muak dipaksa menulis tentang kejahatan kelas teri, sementara kejahatan besar terus berpesta pora, dan semua wartawan mengetahuinya.

Malaka tidak bergantung pada iklan penguasa; tak mau tunduk pada titah pengusaha. Kami hanya melayani satu kepentingan: publik. Karena itu, bila Anda merasa cerita-cerita seperti ini penting; bantu kami menjaga nyalanya tetap hidup.