Beberapa hari lalu, sejumlah wartawan mengeluh di grup WhatsApp Bea Cukai Batam karena merasa tidak diundang ke konferensi pers penindakan narkotika. Di antara pesan-pesan itu, muncul satu siaran pers resmi. Judulnya cukup untuk mengundang klik: “Aksi Sales Cantik dan Eks Napi Terbongkar, Bea Cukai Batam Gagalkan Penyelundupan Kiloan Sabu dalam Koper”.
Apa yang salah? Segalanya, jika kata “cantik” disematkan dalam laporan resmi penegakan hukum.
Pertama, kata itu tidak relevan. Penampilan fisik bukan fakta hukum dan tidak termasuk dalam substansi perkara. Ia tidak menjelaskan modus operandi, barang bukti, atau keterlibatan pelaku. Siaran pers bukan tempat untuk menonjolkan hal-hal yang bersifat pribadi, apalagi fisik. Dalam kasus ini, “cantik” adalah jeda yang tidak perlu, sekaligus menyesatkan.
Masih belum jelas? Baiklah.
Frasa dalam judul itu juga membuka ruang bias yang lebih luas. Ketika tersangka laki-laki dalam kasus yang sama diberi label “mantan napi”, sementara perempuan diberi label “cantik”, maka jelas kita tidak sedang membaca laporan yang netral. Kita sedang membaca siaran pers yang merayakan rupa dan menghukum latar sosial. Yang satu dihias, yang lain distigma. Ini standar ganda. (baca: Membela yang Tidak Dibela)
Pelanggaran ini menjadi lebih serius karena datang dari institusi negara. Seharusnya, lembaga pemerintah berbicara dengan data, bukan selera. Fokus masyarakat seharusnya diarahkan pada bagaimana sabu itu dibawa, siapa pemberi perintah, dan sejauh mana jaringan narkotika ini bekerja. Namun dengan menyisipkan kata “cantik” perhatian publik justru dialihkan ke hal yang tidak penting.
Dalam Kode Etik Humas Pemerintahan yang diatur melalui Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 371 Tahun 2007, disebutkan bahwa informasi yang disampaikan harus objektif, jujur, dan akurat. Menyebut tersangka “cantik” sudah tentu tidak objektif.
Cantik adalah penilaian subjektif. Apa yang dianggap cantik oleh satu orang belum tentu berlaku bagi yang lain. Ada yang memandang kulit gelap itu cantik. Ada pula yang lebih menyukai kulit terang. Sebagian melihat kecantikan dari ekspresi wajah, cara berbicara, atau bahkan terpikat karena kecerdasan. Tapi ketika kata itu muncul dalam siaran pers resmi lembaga negara, kesan itu menjadi seolah sahih. Seolah Humas Bea Cukai bisa seenaknya mengukuhkan penilaian subjektif sebagai kebenaran umum.
Dan di situlah bahayanya.

Lebih berbahaya lagi, media ikut menyalin kata “cantik” ke dalam judul dan isi berita mereka. Padahal, tidak ada satu pun bukti visual yang menunjukkan wajah tersangka. Foto-foto resmi dari Bea Cukai justru menunjukkan keduanya mengenakan penutup kepala. Memang ada satu dua foto yang beredar tanpa penutup, tapi wajahnya sudah diburamkan. Kami bahkan telah mewawancarai lebih dari lima wartawan yang hadir di konferensi pers, dan tak satu pun dari mereka melihat petugas membuka penutup kepala tersangka.
Lalu, dari mana wartawan tahu bahwa pelakunya “cantik”? Jawabannya: sebagian besar mereka tidak tahu. Mereka hanya mengulang kata yang ada di siaran pers, tanpa memeriksa kebenarannya.
Kesalahan ini memperlihatkan persoalan yang lebih dalam: kiwari banyak redaksi memperlakukan siaran pers sebagai berita jadi. Padahal, siaran pers seharusnya hanya dianggap sebagai bahan mentah. Ia perlu diperiksa ulang, dilengkapi, dan diverifikasi lewat proses peliputan tambahan sebelum bisa dipublikasikan sebagai berita.
Dan menulis “tersangka cantik” tanpa pernah melihat wajahnya bukan sekadar ceroboh. Itu adalah kebohongan. Dalam kasus ini, pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi secara berlapis.
Pertama, melanggar Pasal 1. Wartawan wajib menyajikan berita yang akurat dan tidak beritikad buruk. Dalam kasus ini, wartawan menyebarkan informasi yang tidak bisa diverifikasi, dan menyesatkan publik dengan menulis sesuatu yang tidak pernah dilihat.
Kedua, melanggar Pasal 2, yang mewajibkan wartawan menempuh cara-cara yang profesional. Menyalin siaran pers tanpa verifikasi, tidak bisa disebut kerja profesional.
Ketiga, melanggar Pasal 3, yang menyebut bahwa wartawan harus menguji informasi, tidak mencampurkan fakta dan opini. Kata cantik adalah opini subjektif.
Keempat, melanggar Pasal 4. Wartawan tidak boleh membuat berita bohong. Menyebut seseorang cantik tanpa pernah melihat wajahnya adalah kebohongan. Bukan kebohongan besar, mungkin. Tapi tetap saja bohong.
Dan jika media tidak segera meralat serta meminta maaf kepada publik, maka pelanggaran itu berlanjut dengan dilanggarnya Pasal 10. Lengkap sudah pelanggaran yang terjadi.

Yang lebih memprihatinkan, salah satu wartawan yang ikut menyalin dan menyebar frasa itu adalah seorang penguji kompetensi wartawan di Batam. Ia adalah orang yang seharusnya mengajarkan verifikasi, independensi, dan kerja profesional kepada wartawan muda. Jika pengujinya sendiri tidak bisa membedakan fakta dan selera, maka kita patut bertanya: seberapa jauh sistem uji kompetensi itu bisa dipercaya?
Fenomena ini bukan hal baru. Sudah lama, siaran pers dari instansi pemerintah sering dijadikan satu-satunya rujukan oleh media. Banyak redaksi tidak lagi memeriksa isinya. Mereka tidak mencari sumber lain, hanya menyebarkan apa yang diterima. Ini bertentangan dengan prinsip kerja redaksi yang independen. Ironisnya, ketika dikritik, sebagian justru menganggapnya sebagai urusan personal atau persaingan antar-media.
Malaka sedang menyiapkan laporan khusus soal ini. Kami mengkaji bagaimana siaran pers dipakai untuk membentuk kepatuhan. Kami juga menelusuri pola kerja sama media dan pemerintah yang tidak sehat. Laporan ini akan terbit dalam waktu dekat, sebagai bagian dari upaya kami menjaga ruang redaksi agar tetap waras.
Dan satu hal yang ingin kami sampaikan, mungkin kita semua pernah tergelincir. Entah karena terburu-buru, atau karena menganggapnya sepele. Tapi ini juga saat yang tepat untuk mengingatkan diri sendiri: siaran pers bukan dokumen suci, dan tugas wartawan bukan menyalin, tapi memeriksa.
Karena jurnalisme, seberapapun sibuknya hari ini, seharusnya tetap dimulai dari satu pertanyaan sederhana: apakah ini benar?
Artikel ini telah disunting pada 13 Mei 2025. Tidak semua wartawan tidak melihat wajah tersangka perempuan. Seorang wartawati baru memberi tahu Malaka bahwa ia kebetulan berada di lokasi saat penangkapan, dan sempat melihat langsung wajah tersangka.