Proyek Pasir Menjerat Mangihut

Proyek pasir laut dari galangan SMOE menyeret nama Mangihut Rajagukguk ke kantor polisi. Dari legislator hingga aparat, dari sembako ke saham, dari grup WhatsApp ke laporan pidana.

Seorang tentara bernama Hendriyatho Dakhi melaporkan Anggota DPRD Kota Batam, Mangihut Rajagukguk ke polisi atas dugaan penipuan dan penggelapan dalam proyek penjualan pasir laut. Pengacaranya, Natalis Zega, membongkar rangkaian pertemuan dan aliran uang yang menyeret sejumlah nama pengusaha, perwira polisi, dan pejabat daerah.

Belum genap seminggu setelah laporan masuk dan struktur PDI Perjuangan di tingkat daerah mengisyaratkan pemecatan Mangihut, kuasa Zega mendadak dicabut. “Saya takbisa bicara lagi,” kata Zega kepada Malaka lewat pesan singkat pada 6 Mei 2025.

Zega turut melampirkan surat pencabutan kuasa yang ditandatangani Hendriyatho pada 1 Mei 2025. “Saya baru diberi tahu hari ini [6 Mei], tapi suratnya dibuat tanggal 1 Mei. Itu tidak benar. Saya akan laporkan dia,” katanya. Tanggal itu bertepatan dengan kunjungan puluhan orang ke RS Elisabeth, Batam, saat Hendriyatho dirawat. Di sana, ia disebut menandatangani surat perdamaian.

Malaka telah menghubungi Hendriyatho Dakhi sejak 6 Mei 2025. Ia membalas pesan, tetapi menolak diwawancarai lewat telepon. Jadwal wawancara terus tertunda hingga laporan ini terbit. Tanggapan darinya akan dimuat pada berita selanjutnya.

Sebelum pencabutan kuasa terjadi, Zega lebih dulu mengungkapkan isi kasus ini dalam konferensi pers yang digelar pada 24 April 2025. Dalam acara yang dihadiri Malaka dan sejumlah wartawan itu, ia, Hendriytaho Dakhi, dan Sahat Siburian menyebut beberapa nama yang diduga terlibat.

Salah satunya adalah mantan Kapolresta Barelang, Kombes Pol Heribertus Ompusunggu. Sahat mengatakan, Heribertus sempat meminta uang sebesar Rp50 juta kepada kliennya untuk pembagian sembako, dan uang itu telah diserahkan. Heribertus juga dituduh meminta Rp4 miliar, yang kemudian ditolak. Sebagai gantinya, Hendrik Aritonang disebut menawarkan kerja sama dengan sistem bagi hasil.

Malaka mencoba mengklarifikasi tuduhan ini kepada Kombes Pol Heribertus Ompusunggu melalui nomor ponsel yang sebelumnya pernah ia gunakan untuk berkomunikasi dengan Malaka. Permintaan wawancara pada 7 Mei 2025 tidak direspons. Ketika dihubungi lagi pada 12 Mei, nomor berkode Inggris tersebut justru menelepon balik. Seorang pria mengangkat dan berkata, “Ojo kayak gitu, salah sambung iki.”

Nama Kapolda Kepri, Inspektur Jenderal Asep Syafruddin dan Ketua DPRD Kepri, Iman Setiawan juga disebut Zega dalam konferensi pers yang sama. Keduanya disebut dalam konteks dugaan intervensi. Iman Setiawan sempat menjawab panggilan Malaka melalui sambungan telepon dan membantah keterlibatannya. “Saya tidak tahu soal itu,” kata Iman pada 13 Mei 2025.

Sejak 14 Mei, Malaka telah mencoba menghubungi Kapolda Kepri lewat telepon dan pesan singkat. Namun, belum ada jawaban. Jika ada tanggapan, akan dimuat dalam laporan selanjutnya. Pada 17 Mei 2025, setelah laporan ini terbit, Irjen Pol Asep Syafruddin membantah seluruh tuduhan yang disampaikan oleh Natalis Zega dan kliennya.

Natalis Zega, pengacara. Foto: Putra Gema Pamungkas.

Sahat menyebut Mangihut sebagai pihak yang paling aktif menangani urusan keuangan dalam proyek pasir ini. Ia mengatakan permintaan sebesar Rp500 juta datang dari Mangihut menjelang Idulfitri 2025, dengan alasan koordinasi ke Polresta Barelang dan Polda Kepri. Permintaan itu sempat ditolak, tetapi akhirnya dipenuhi sebagian.

Lantas, apa dasar dari tuduhan mereka?

Aliran Uang Versi Klien Zega

Semua bermula pada 2023, ketika PT Sembawang Manufacture Off-Shore & Equipment (SMOE) Indonesia melakukan pendalaman alur laut di kawasan galangannya. Kegiatan itu dikerjakan oleh PT Maharani Nusantara dan menghasilkan tumpukan pasir seatrium. Namun, pasir tersebut tidak bisa langsung dijual karena pengelola kesulitan memahami aturan perizinan dan distribusinya.

Seorang pengusaha bernama Hendrik Aritonang mengambil proyek penjualan pasir itu. Karena tidak memiliki badan hukum, Hendrik menggunakan legalitas PT GT Solution, perusahaan berizin resmi untuk penjualan pasir. Ia menggandeng dua pemodal: Hendriyatho Dakhi dan Sahat Siburian. Mereka sepakat membagi keuntungan dengan skema 60:40, dan bersama-sama menyetor uang muka sebesar Rp1 miliar ke PT Maharani Nusantara.

Setelah uang muka dibayarkan, mereka juga menyelesaikan kewajiban pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) sebesar Rp230 juta. Menurut Sahat, pembayaran itu dilakukan atas arahan dari sejumlah kepala dinas yang sebelumnya mengundang mereka dalam rapat koordinasi. Setelah kewajiban dipenuhi, pengangkutan pasir pun berjalan.

Sekitar sebulan setelah proyek berjalan, personel dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kepri dan Polresta Barelang datang ke lokasi dan menghentikan seluruh aktivitas, meskipun dokumen izin telah ditunjukkan. Menurut Sahat, penghentian itu dilakukan tiba-tiba, tanpa surat resmi atau pemasangan garis polisi.

Malaka telah mencoba meminta penjelasan kepada Direktur Ditreskrimsus Polda Kepri, Kombes Pol Silvester Mangombo Marasuha Simamora. Pertanyaan wawancara yang dikirim sejak 11 Mei 2025 telah dibaca, tetapi belum dijawab hingga laporan ini diterbitkan.

Sahat mengatakan, setelah penghentian itu, kliennya meminta bantuan kepada Mangihut Rajagukguk untuk mengatur pertemuan dengan Kapolresta Barelang saat itu, Kombes Pol Heribertus Ompusunggu.

Kombes Pol Heribertus Ompusunggu, mantan Kapolresta Barelang. Foto: Putra Gema Pamungkas.

Dalam pertemuan pertama, menurut Sahat, Heribertus meminta uang Rp50 juta untuk kegiatan sosial, dan permintaan itu dipenuhi. Namun keesokan harinya, Heribertus datang ke lokasi bersama seorang juru ukur pasir. Sahat menyebut saat itu terjadi perdebatan di lapangan.

Setelah itu, mereka kembali bertemu. Sajah mengatakan, Heribertus sempat menyebut angka Rp4 miliar. “Kalau mau dapat segitu, bantu jual pasirnya dulu,” kata Sahat menirukan ucapan Hendrik kepada Heribertus. Ia menambahkan, setelah pertemuan itu, Heribertus disebut menghubungi anggotanya untuk mencari orang yang bisa membantu menjual pasir.

Dalam pertemuan lainnya, kata Sahat, Mangihut meminta jatah Rp50 ribu per kubik pasir untuk disetor ke Polda dan Polres. Heribertus juga dituduh meminta agar Mangihut dimasukkan ke dalam struktur proyek. Mangihut meminta 20 persen saham, dan permintaan itu disetujui.

Seluruh transaksi proyek kemudian dialihkan ke PT Eleksindo Raja Sejahtera, perusahaan yang disebut di bawah kendali Mangihut. Setelah itulah, menurut Sahat, Mangihut meminta uang sebesar Rp500 juta untuk koordinasi dengan aparat, dan disanggupi Rp350 juta.

Sebagai bukti, Zega dan kliennya menunjukkan pesan dalam grup WhatsApp internal berisi Mangihut, Hendriyatho, Hendrik Aritonang, dan Sahat:

Ditagih dulu lae yang lama-lama lae, karena Polda dan Polres sudah minta lae, karena mereka sudah butuh di saat lebaran ini lae,” tulis Mangihut.

Dua hari kemudian, proyek justru kembali dihentikan. Menurut Sahat, penghentian itu dilakukan atas permintaan Ketua DPRD Kepri, Iman Setiawan. Informasi ini bersumber dari percakapan antara Kapolda Kepri, Irjen Pol Asep Syafruddin, dan seorang pejabat tinggi militer dalam pertemuan di kediaman Kapolda, 2 April 2025, yang kemudian semua dibantah oleh Irjen Pol Asep Syafruddin.

Laporan kepada aparat disebut Sahat berasal dari PT Maharani Nusantara, yang merasa dirugikan karena adanya permintaan bagi hasil dari uang deposit sebesar Rp500 juta oleh Mangihut. Bahkan, Mangihut dituding berusaha memonopoli sisa pembayaran proyek senilai Rp3 miliar. “Klien kami ingin kembali ke perjanjian awal, bukan kesepakatan yang melibatkan Mangihut,” kata Zega.

Sahat mengatakan, pejabat tinggi militer itu kemudian meminta agar kegiatan tetap dilanjutkan, tetapi tanpa melibatkan Mangihut.

Namun tiba-tiba, Mangihut justru datang menawarkan ganti rugi sebesar Rp1,4 miliar kepada Hendriyatho dengan syarat kendali penuh atas proyek dialihkan kepadanya dan Hendrik Aritonang. Tawaran itu ditolak. Nilai ganti rugi itu merujuk pada kerugian yang sudah terjadi: Rp1 miliar sebagai deposit awal, Rp50 juta permintaan untuk sembako, dan Rp350 juta yang diminta Mangihut untuk koordinasi dengan aparat.

Mangihut Rajagukguk saat masih menjabat sebagai Komisioner Divisi Hukum Bawaslu Batam. Foto: Putra Gema Pamungkas.

Sahat menyebut salah satu alasan penolakan kliennya adalah karena hasil penjualan pasir sebesar Rp726 juta tidak masuk ke rekening PT Eleksindo Raja Sejahtera, melainkan ke PT Jeni Prima Putra, perusahaan yang disebut milik Jonny Yewsuwanto. Malaka telah mencoba mengonfirmasi tuduhan ini kepada Jonny sejak 14 Mei 2025, tetapi hingga laporan ini diterbitkan, ia belum memberikan respons.

“Klien kami merasa bahwa proyek ini akhirnya hanya menjadi alat untuk memeras dan menguasai bisnis tanpa modal,” kata Natalis.

Kasus Tetap Jalan

Sebelum kuasanya dicabut, Zega menyatakan bahwa pihaknya akan menempuh dua jalur: pidana dan etik. Dugaan penipuan dan penggelapan telah dilaporkan ke Polresta Barelang, sementara dugaan pelanggaran etik oleh Mangihut Rajagukguk disampaikan ke Badan Kehormatan DPRD Kota Batam.

Beberapa hari sebelum mengetahui kuasanya dicabut, Zega juga memprotes perlakuan terhadap kliennya, terutama soal penandatanganan surat perdamaian antara Hendriyatho dan Mangihut. Ia menilai proses itu tidak sah karena dilakukan tanpa pendampingan dari penyidik.

Kapolresta Barelang, Kombes Pol Zaenal Arifin, membenarkan bahwa perdamaian tersebut tidak disaksikan langsung oleh penyidik. Ia menegaskan bahwa mekanisme restorative justice harus dijalankan sesuai dengan Peraturan Kapolri. “Mekanisme perdamaian atau restorative justice harus sesuai Perkap,” ujarnya.

Kasat Reskrim Polresta Barelang, AKP M. Debby Tri Andrestian, menyatakan bahwa laporan terhadap Mangihut masih dalam tahap penyelidikan. “Beberapa saksi sudah kami undang untuk klarifikasi, tetapi belum hadir,” katanya pada 6 Mei 2025. Ia menambahkan, “Sejauh ini, penyidik fokus dalam jalannya perkara.”

Malaka telah meminta tanggapan dari Mangihut Rajagukguk. Upaya pertama dilakukan saat ia menghadiri klarifikasi di DPC PDI Perjuangan Batam pada 4 Mei 2025. Saat itu, Mangihut hanya menjawab, “Tadi saya sudah diambil keterangan klarifikasi atas apa yang sempat viral selama ini. Namun hasilnya nanti biarlah Ketua DPC PDI Perjuangan yang akan menjawabnya.”

Permintaan wawancara yang dikirim ke nomor ponsel pribadinya juga hanya dibaca, tanpa ada balasan.

Catatan Redaksi:

Malaka masih terus berupaya menyeimbangkan informasi atas seluruh tuduhan yang disampaikan oleh Natalis Zega dalam laporan ini. Permintaan wawancara telah dikirimkan kepada semua pihak yang disebut, dan akan terus dilakukan. Tanggapannya akan dimuat dalam laporan selanjutnya.

Laporan ini diperbarui pada 17 Mei 2025 pukul 14.00 WIB. Natalis Zega menyatakan keberatan namanya dicantumkan dalam semua kutipan. Ia mengklaim sebagian pernyataan, khususnya soal kronologi, disampaikan oleh Sahat Siburian saat konferensi pers. Sebelumnya, Zega justru meminta semua pernyataan Sahat dikutip atas nama kantor hukum mereka.

Kapolda Kepri Irjen Pol Asep Syafruddin juga menghubungi Malaka dan membantah seluruh tuduhan dari klien Natalis Zega. Ia meminta Malaka segera mengatur jadwal wawancara agar duduk perkara sebenarnya bisa dijelaskan secara lebih jernih dan berimbang.

Editor: Bintang Antonio

Malaka tidak bergantung pada iklan penguasa; tak mau tunduk pada titah pengusaha. Kami hanya melayani satu kepentingan: publik. Karena itu, bila Anda merasa cerita-cerita seperti ini penting; bantu kami menjaga nyalanya tetap hidup.