“Pengkhianat! Usir dari Baloi Kolam!”
Teriakan itu terdengar keras saat Rina Wati Sinurat duduk di teras rumahnya di RT 03, RW 16, Baloi Kolam, Kelurahan Sungai Panas, Kecamatan Batam Kota, Kamis malam, 17 April 2025. Sekelompok orang muncul dari gang sempit, membawa beroti, lalu melemparkannya ke arah rumah Rina.
“Hancurkan!” teriak seorang perempuan dari dalam kerumunan. Rina tidak bisa mengenali wajah-wajah mereka. Malam terlalu gelap.
Cekcok antara Rina dan sekelompok warga pun terjadi. Ia tidak terima disebut penghianat. “Saya tidak suka dengan kata-kata kasar mereka,” kata Rina saat menceritakan kejadian itu kepada Malaka, Selasa, 29 April 2025.
Rina juga memperlihatkan rekaman video peristiwa mencekam tersebut. “Massa itu kurang lebih 60 orang. Polisi sudah datang dan berada di tengah-tengah kerumunan warga,” kata perempuan berusia 44 tahun itu.
Malam itu, tak hanya rumah Rina yang didatangi. Massa juga menyasar rumah warga lain yang dituduh menerima kompensasi relokasi dari Baloi Kolam. Bahkan, awal April 2025, listrik rumah Rina sempat diputus karena dianggap pengkhianat. Kejadian itu kemudian viral di media sosial.
Keributan ini sebenarnya dipicu oleh rencana penggusuran PT Alfinky Multi Berkat (AMB). Perusahaan tersebut mendapat alokasi lahan dari BP Batam di atas permukiman liar yang telah dihuni warga sejak puluhan tahun lalu.
Rina adalah salah satu yang terdampak. Ia sudah tinggal di sana sejak 2004. Rumah berukuran 8 x 6 meter itu dibelinya seharga Rp10,5 juta. Selama dua dekade, ia hidup harmonis dengan tetangganya.
Namun pada akhir 2024, saat kabar penggusuran kembali muncul, Rina memutuskan menerima relokasi. Ia sadar rumahnya berdiri di atas lahan tanpa izin. Ia menerima saguhati sebesar Rp35 juta dari PT AMB. Sejak itu, takada lagi sapa dari tetangga. Hubungan baik yang dibangun selama 20 tahun seketika hilang.
Setelah rumahnya dirusak, Rina dan beberapa warga lain melapor ke Polresta Barelang melalui Ketua RW setempat. Polisi kemudian mengirim surat panggilan kepada sejumlah warga yang diduga terlibat dalam penyerangan.

Namun, saat polisi datang ke lokasi untuk mengantar surat, situasi memanas. Sejumlah warga mengadang dan menolak kehadiran aparat. Kericuhan tak terhindarkan. Jalan utama di depan Baloi Kolam sempat macet. Warga mendesak personel Brimob yang berjaga di pintu masuk untuk segera pergi.
Malaka telah menghubungi Kasat Reskrim Polresta Barelang, AKP Debby Tri Andrestian, lewat telepon dan pesan singkat, tetapi belum mendapat respons. Jawabannya akan dimuat dalam laporan selanjutnya.
Bertahan karena Janji Wali Kota
Salah satu warga yang mendapat panggilan dari polisi adalah Hanafi. Pria 54 tahun itu membantah telah melakukan pengeroyokan. Menurutnya, perusakan rumah terjadi secara spontan akibat kemarahan warga terhadap tetangga yang dianggap melanggar kesepakatan bersama.
“Perjanjiannya jelas, kami menolak dipindahkan. Siapa yang menerima tawaran relokasi akan diberi sanksi. Salah satunya, diputus air dan listrik,” kata Hanafi saat ditemui di Polresta Barelang, Jumat, 25 April 2025.
Ia menegaskan, warga tidak pernah setuju menerima kompensasi sebesar Rp35 juta. Namun, tiba-tiba nama mereka dicatat sebagai penerima. “Tiba-tiba sudah dibuat kami setuju,” ujarnya.
Warga Baloi Kolam, termasuk Hanafi, menyebut PT Alfinky Multi Berkat sebagai “penggusur ilegal” karena tidak menunjukkan dokumen legalitas alokasi lahan. Mereka juga berpegang pada pernyataan Muhammad Rudi, mantan Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam, yang pada November 2024, menyatakan bahwa tidak akan ada penggusuran di Baloi Kolam. Pernyataan itu disampaikan hanya empat hari sebelum pemilihan kepala daerah berlangsung.
Linda Rajagukguk juga dipanggil polisi karena kejadian malam itu. Ia menolak pindah karena merasa proses relokasi tidak transparan. Formulir hanya dibagikan kepada warga yang setuju, sementara ia yang sejak awal menolak justru tidak mendapatkannya. Itupun baru dibagikan lewat grup WhatsApp RT 03 setelah warga mulai ribut. “Saya yang dari awal menolak justru tidak diberi,” kata Linda, Jumat, 25 April 2025.
Warga juga mencurigai adanya syarat tersembunyi. Salah satunya, warga baru bisa menerima saguhati penuh setelah berhasil mengajak lima orang lain untuk ikut pindah. “Kami jadi curiga, apakah itu hanya iming-iming,” ujarnya.
Linda mengingatkan bahwa situasi serupa pernah terjadi pada 2016. Saat itu, warga dijanjikan Rp15 juta, tapi hanya menerima Rp7 juta dan langsung diusir. Dari pengalaman itu, lahirlah Perjanjian 2016, yang ditandatangani ribuan warga dari 10 RT dan 1 RW.

Isi perjanjian tersebut jelas: warga harus bersatu menolak penggusuran. Siapa yang menerima relokasi akan kehilangan akses listrik dan air. “Kalau berkhianat, memang perjanjiannya begitu. Fasilitasnya diputus, baru kami usir,” kata Herbet Sianipar, Ketua Aksi Forum Baloi Kolam Bersatu (FBKB), 20 April 2025.
Herbet juga menerima surat panggilan dari polisi atas tuduhan pengeroyokan, perusakan, dan ancaman kekerasan. Ia tidak membantah bahwa beberapa rumah mengalami kerusakan, tapi menolak tudingan soal penjarahan. “Tak semua rumah dirusak warga yang menolak pindah. Ada juga yang dirusak sendiri karena pemiliknya memang sudah sepakat keluar dari Baloi Kolam,” ujarnya.
Herbet menegaskan, jika penggusuran tetap dilakukan, prosesnya harus adil dan terbuka. “Seperti Ahok di Jakarta, bangun rusunnya dulu, baru relokasi,” katanya.
Ketua RW 16, Sahat Maruli Tua, membantah tudingan bahwa pembebasan lahan di Baloi Kolam tidak transparan. Menurutnya, semua proses sudah dilakukan terbuka. “Surat-surat rapat dengan warga ada semua di saya. Itu bukti transparan,” kata Sahat kepada Malaka.
Menurut Sahat, selama rapat-rapat berlangsung tidak ada warga yang secara langsung menyatakan penolakan. Ia mengaku heran karena keributan baru muncul setelah beberapa warga mendaftar untuk pindah. Terkait tuduhan pembagian formulir yang tidak merata, Sahat membantahnya. Ia menyebut proses relokasi sudah dijalankan sesuai prosedur dan tidak ada warga yang dipilih-pilih.
Sahat sendiri adalah salah satu warga yang menerima tawaran relokasi. Rumahnya ikut dirusak. “Waktu saya pulang, pintu rumah sudah jebol, dinding ada yang bolong,” ujarnya.
Jimmy: Tim Terpadu Solusi Terakhir
Direktur PT Alfinky Multi Berkat, Jimmy, membenarkan rencana penggusuran di Baloi Kolam. Perusahaan akan membangun gedung hunian vertikal di atas lahan seluas 9,2 hektare.
Dari data PT AMB, sekitar 600 rumah akan terdampak. Lokasinya berada di RT 03 dan RT 10. Hingga akhir April 2025, sebanyak 164 rumah sudah setuju pindah dan menerima saguhati. Sebanyak 200 rumah sudah diverifikasi data dan kondisi bangunannya, sementara 236 rumah lainnya belum bersedia pindah.
Jimmy menargetkan pembebasan lahan selesai pada pertengahan Juni 2025. Ia membantah semua tuduhan warga, termasuk soal keharusan membawa lima orang lain untuk bisa menerima uang, maupun soal legalitas lahan yang dianggap bermasalah. Menurutnya, seluruh proses sudah dijalankan sesuai prosedur.

Pendaftaran untuk pindah berakhir Mei 2025. Jika masih ada warga menolak untuk pindah, PT AMB akan melakukan penggusuran paksa. “Tim terpadu solusi terakhir,” kata Jimmy melalui pesan singkat, 30 April 2025.
Jimmy juga menanggapi pernyataan mantan Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, yang pada akhir 2024 menyebut tidak akan ada penggusuran di Baloi Kolam. “Ya, sewaktu beliau menjabat sah-sah saja,” katanya.
Apa kata Amsakar?
Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam, Amsakar Achmad, enggan menanggapi kisruh di Baloi Kolam. Amsakar adalah pengganti Muhammad Rudi dan sebelumnya menjabat sebagai wakilnya. “Cari berita yang positif ajalah,” kata Amsakar kepada Malaka usai peluncuran 13 unit Bus Trans Batam, Rabu, 30 April 2025.
Putra Gema Pamungkas berkontribusi dalam laporan ini. Disunting oleh Yogi Eka Sahputra.