Hujan lokal dua jam cukup melumpuhkan sebagian wilayah Batam. Jalan tergenang, sekolah kebanjiran, kompleks mewah berubah jadi kolam, dan pengendara terjebak macet. Di kota berjuluk “bandar dunia madani” ini, air tidak lagi mengalir ke laut, melainkan naik ke lutut, bahkan ke dada.
Kejadian seperti ini bukan yang pertama dan kembali terlihat pada Senin sore, 6 Mei 2025. Hujan lokal dengan intensitas tinggi mengguyur sebagian wilayah Batam, terutama di Kecamatan Batam Kota. Tak hanya banjir, cuaca ekstrem seperti angin kencang dan puting beliung juga dilaporkan terjadi di sejumlah titik.
Menurut data yang dihimpun Malaka, banjir terjadi di ruas Jalan Hang Tuah. Jalan lima jalur, baik arah kiri maupun kanan tergenang air. Genangan paling parah terjadi di dekat Bundaran Punggur. Air meluap diduga karena drainase tersumbat akibat pemotongan lahan. Drainase juga belum dibangun secara maksimal.
Banjir besar juga terjadi di Simpang Kepri Mall. Padahal kawasan ini sebelumnya tidak termasuk daerah rawan banjir karena drainasenya telah dinormalisasi. Namun, hujan deras sore itu mengubah simpang tersebut menjadi seperti danau buatan. Sejumlah kendaraan terlihat terjebak dan takbisa bergerak. Kemacetan pun tak terhindarkan dari berbagai arah.
Air juga merendam SMP Negeri 28 Batam di Perumahan Taman Raya Tahap 3. Video yang menunjukkan air merendam ruang guru dan ruang kelas beredar luas di media sosial. Tinggi air bahkan mencapai perut murid.
Kawasan lain yang turut terdampak meliputi Citra Batam Greenland, Plaza Botania, depan Mitra Raya, depan Niaga Mas, dan Cluster Avante Pasir Putih, termasuk beberapa titik di Kecamatan Bengkong. Sementara itu, longsor kecil juga dilaporkan terjadi di depan Sekolah Indo Global dan Perumahan Citra Nongsa.
Banjir karena Salah Atur
Aktivis lingkungan di Batam, Hendrik Hermawan, mengatakan bahwa sejak lama ia telah mengingatkan pemerintah agar pembangunan di Batam memperhatikan prinsip-prinsip lingkungan. Menurutnya, banjir yang terus terjadi menunjukkan bahwa peringatan tersebut belum benar-benar didengar.
Hendrik adalah pendiri Akar Bhumi Indonesia, sebuah organisasi lingkungan independen yang aktif mengadvokasi isu-isu ekologis di Batam dan sekitarnya. Dalam lima tahun terakhir, organisasi ini telah melaporkan lebih dari 30 kasus dugaan perusakan lingkungan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Dinas Lingkungan Hidup setempat. Kasus-kasus itu, antara lain: reklamasi tanpa izin, penimbunan mangrove, dan pembukaan hutan lindung.
“Ini cuma hujan lokal, ya. Tapi hujan lokal saja bisa berbahaya untuk Batam kalau pembangunan tidak memperhatikan lingkungan,” kata Hendrik kepada Malaka, Rabu, 7 Mei 2025.

Hendrik menilai banyak perubahan kawasan hutan di Batam hanya untuk mengejar investasi, tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan. “Perubahan status lahan sekarang cuma demi investasi,” katanya.
Ia juga menyoroti kondisi drainase di Batam yang makin buruk. Menurutnya, banjir yang terus terjadi bukan sekadar bencana alam, tapi akibat langsung dari pembangunan yang tidak ramah lingkungan. “Banjir akan terus terjadi. Masyarakat harus siap-siap,” kata Hendrik.
Jika warga terus dirugikan, ia menyarankan agar masyarakat mempertimbangkan untuk menggugat pemerintah melalui class action. “Contohnya, kalau jalan berlubang lalu kita jatuh, itu bukan hanya salah pengemudi, tapi juga kesalahan pihak yang membangun jalan,” katanya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Kepulauan (LBH MK), Fauzi, mengatakan bahwa secara hukum masyarakat Batam sebagai korban banjir memiliki hak untuk mengajukan gugatan class action terhadap pemerintah.
Menurut Fauzi, banjir bukan semata kehendak Tuhan, tetapi juga akibat dari sistem dan kebijakan yang mengabaikan prinsip perlindungan lingkungan. Ia menyebut gugatan class action telah berhasil di beberapa daerah, salah satunya di Samarinda, Kalimantan Timur. Di sana, warga menggugat pemerintah daerah karena proyek tambang batu bara menyebabkan kerugian. Gugatan itu dimenangkan warga, dan pemerintah diwajibkan melakukan perbaikan.
“Model gugatan itu macam-macam. Kalau kerugiannya perorangan, bisa lewat gugatan biasa, gugatan perbuatan melawan hukum. Misalnya saya punya toko, sering kebanjiran, tapi pemerintah tidak pernah memperbaiki drainase. Itu bisa digugat,” kata Fauzi.
Namun jika dampaknya lebih luas dan melibatkan banyak warga, gugatan bisa diajukan secara kolektif oleh perwakilan masyarakat. “Ruang hukumnya terbuka. Pemerintah wajib bertanggung jawab terhadap banjir yang terus terjadi,” tambahnya.
Hal serupa disampaikan oleh pakar manajemen kebencanaan geologi dari UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno. Menurutnya, banjir di Batam tidak bisa semata disalahkan pada hujan. Yang perlu dipertanyakan adalah mengapa kawasan resapan air justru digantikan oleh permukiman atau bangunan tanpa ada upaya menciptakan pengganti.
“Batam itu pulau kecil, daerah aliran sungainya juga kecil dan pendek. Jadi begitu hujan, air tidak bisa diserap karena ruang resapan sudah hilang,” kata Teguh saat dihubungi, Rabu, 7 Mei 2025.
Ia menyarankan agar pemerintah mulai memperbanyak sumber resapan. “Kalau kita punya rumah 40 meter persegi dan hujan dua jam, air dari atap itu akan langsung tumpah ke jalan kalau tidak ada sumur resapan,” ujarnya.
Pemerintah Belum Temukan Solusi
Wali Kota Batam merangkap Kepala BP Batam, Amsakar Achmad, mengaku telah berupaya mencari solusi banjir di Batam. Namun, hingga kini belum ada langkah yang dianggap tepat, terutama karena keterbatasan anggaran untuk membenahi sistem drainase.
Menurut Amsakar, air hujan saat ini tidak lagi terserap oleh alam, melainkan langsung mengalir ke permukaan, termasuk ke jalan-jalan. Di saat bersamaan, pemerintah kota tengah melakukan pelebaran jalan, sementara drainase yang dibangun belum optimal. “Masalah banjir ini pekerjaan berat. Kami di BP Batam terus membahas bagaimana membelah kota dengan saluran besar, dan bagaimana membangun drainase di sisi kiri dan kanan jalan yang ada,” kata Amsakar, Selasa 6 Mei 2025.

Ia menyebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pemerintah saat ini sedang mengajukan permintaan dukungan anggaran ke kementerian. Di sisi lain, pemerintah juga akan menertibkan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai.
“Ada bendungan yang ditutup, ada bukit yang dipotong. Kami berupaya agar kerusakan tidak semakin parah. Kalau izin diberikan, maka harus sesuai dengan AMDAL-nya,” ujarnya.
Sementara itu, dalam siaran pers BP Batam, Wakil Kepala BP Batam Li Claudia Chandra meninjau beberapa titik banjir. Ia menegaskan akan menindak pengembang yang tidak mematuhi aturan lingkungan, terutama terkait pembangunan drainase.
Li Claudia menyatakan akan mencabut izin perusahaan yang abai terhadap aspek lingkungan. Ia juga merencanakan pembangunan kolam retensi sebagai salah satu upaya mengatasi banjir. “Kami berkomitmen memastikan penanganan banjir berjalan terus,” ujar Li, Selasa pagi, 6 Mei 2025.