Kebun kelapa milik warga di Kampung Tanjung Banon, Pulau Rempang, diratakan alat berat oleh BP Batam tanpa pemberitahuan. Penindakan ini mengatasnamakan tim terpadu, tetapi sejumlah institusi mengaku tidak tahu. Pemilik kebun mengaku merugi lebih dari Rp500 juta akibat ratusan pohon kelapanya ditebang.
Kepala Bagian Humas BP Batam, Sazani, mengatakan penertiban dilakukan berdasarkan surat nomor 112/TIM-TPD/IV/2025 yang ditandatangani oleh pelaksana harian Wakil Ketua II Tim Terpadu Penertiban Bangunan Liar Kota Batam. Rencana pembongkaran itu sebenarnya dijadwalkan pada 17 April 2025, tetapi ditunda dan baru dilakukan pada 2 Mei.
“Dasarnya surat perintah bongkar tertanggal 17 Maret 2025 dan hasil rapat di Kejati Kepri pada 21 April,” kata Sazani kepada Malaka, 2 Mei 2024.
Meski mengatasnamakan tim terpadu, penertiban di lapangan hanya dilakukan oleh Ditpam BP Batam tanpa koordinasi dengan instansi lain. Sejumlah pihak mengaku tidak diberi tahu dan tidak dilibatkan.
Komandan Unit Intel Kodim 0316/Batam, Lettu Inf Rudi, membenarkan bahwa pihaknya tidak mengetahui adanya kegiatan penertiban tersebut. “Kami tidak dapat info terkait penindakan itu. Tidak dilibatkan juga,” katanya saat dihubungi Malaka.
Pernyataan serupa disampaikan oleh Kasi Intel Kejaksaan Negeri Batam, Priandi Firdaus. Ia mengatakan lembaganya hanya diminta bantuan personel untuk penertiban bangunan rumah, bukan kebun. “Untuk lokasi kebun seperti di foto, kami tidak menerima informasi,” kata Priandi.
Humas Pengadilan Negeri Batam, Welly, juga menegaskan bahwa PN Batam tidak dilibatkan. “Setahu saya tidak, karena kami lembaga yudikatif. Lihat saja di lapangan, pasti tidak ada PN ikut,” ujarnya. Welly menambahkan, pengadilan hanya dapat mengeksekusi objek yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Menanggapi hal tersebut, Sazani menegaskan bahwa kegiatan di Tanjung Banon bukanlah penggusuran, melainkan pembersihan lahan. Ia menyebut kegiatan dilakukan oleh Ditpam BP Batam, didampingi beberapa warga dan anggota Polsek Galang. “Kalau ramai-ramai nanti dihembuskan lagi penggusuran, padahal cuma kegiatan pembersihan lokasi aja,” kata Sazani.
Malaka telah menghubungi Kapolsek Galang, Iptu Hendrizal, untuk dimintai tanggapan sejak 2 Mei 2025. Namun, hingga berita ini diterbitkan, ia belum merespons.
Adapun petani yang memiliki kebun kelapa itu adalah Sinaga, 44 tahun. Ia tinggal di Pulau Rempang sejak tujuh tahun lalu. Luas kebun kelapa miliknya sekitar 8.000 meter persegi. Sinaga merupakan satu dari dua warga di Kampung Tanjung Banon yang masih menolak relokasi. Lahannya termasuk dalam kawasan pengembangan rumah bagi warga penerima relokasi proyek Rempang Eco-City. (baca: Kami Tidak Mau Pindah)

Saat alat petugas Ditpam BP Batam meratakan kebunnya, Sinaga sedang melaut mencari ikan. “Pas sampai di darat, warga kasih tahu kebun saya sudah rata,” kata Sinaga kepada Malaka, 2 Mei 2025. Ia mengaku tidak pernah menerima pemberitahuan atau surat sebelumnya. Sekitar 200 pohon kelapa miliknya ditebang. “Saya gak rela. Mereka ratakan kebun saya tanpa izin,” ujarnya.
Menurut perhitungannya, jika seluruh pohon kelapa itu dibiarkan berbuah hingga masa panen terakhir, nilai hasilnya bisa melebihi Rp500 juta. Semua potensi itu hilang dalam satu hari.
Pemerintah Diminta Tepati Janji
Sekretaris Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB), Roziana, mengaku kaget atas tindakan semena-mena yang dilakukan Ditpam BP Batam. Menurutnya, warga baru tiba di lokasi setelah salat Jumat, ketika aktivitas sudah selesai. “Kami datang setelah salat Jumat, sudah tidak ada aktivitas, tapi kebun kelapa Pak Sinaga sudah rata,” katanya kepada Malaka, 2 Mei 2025.
Roziana menuntut Kepala BP Batam, yang juga Wali Kota Batam, Amsakar Achmad, untuk memberikan perlindungan kepada warga. “Kami menagih janji Bapak untuk melindungi kami sebagai warga Rempang. Janji bahwa tidak akan ada penggusuran paksa tanah kami,” katanya.
AMAR-GB juga meminta seluruh bentuk penggusuran di Pulau Rempang dihentikan. “Kami hanya ingin hidup tenang tanpa rasa takut,” kata Roziana.
Ahlul Fadli, Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau, menyebut penertiban kebun milik Sinaga di Rempang sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Menurutnya, pemerintah seharusnya melindungi masyarakat, bukan malah menyakiti mereka. (baca: Kalau Memaksa Saya Bisa Dipenjara)
“Merusak tanaman warga tanpa izin adalah tindakan sepihak dan melanggar hukum. Dilakukan tanpa pemberitahuan, mendadak, dan tanpa koordinasi,” kata Ahlul kepada Malaka.
Ia menilai tindakan BP Batam bertolak belakang dengan janji mereka di media, yang menyebut pembangunan di Rempang dilakukan tanpa paksaan atau kekerasan. “Sejak awal, proyek Rempang Eco-City hanya mengejar investasi dengan cara menggusur warga, mengambil tanah adat, dan menciptakan trauma di masyarakat,” katanya.
Editor: Bintang Antonio.