Batu Ampar: Simbol Kekacauan Pelabuhan

Pemindahan Terminal Batu Ampar bukan tanda kemajuan, melainkan keharusan. Dari satu kekacauan ke kekacauan lainnya. Apakah terminal baru benar-benar lebih manusiawi? Atau, mungkin ini hanyalah bisnis seperti biasa: semua untung, kecuali penumpang.

Pelabuhan Batu Ampar telah lama menjadi simbol kekacauan bagi jutaan penumpang kapal PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni). Setiap perjalanan, terutama saat arus mudik, selalu menyisakan pengalaman buruk. Penumpang berjalan kaki di ttrek kontainer, menghadapi debu, panas atau hujan. Fasilitasnya buruk dengan lokasi toilet yang jauh. Sementara itu, porter mematok tarif sesukanya. Pintu tikus dan penyelundup? Jangan ditanya.

Fidel Castro Hutasoit, penumpang setia yang menggunakan pelabuhan ini setiap Natal, dalam wawancara pada 8 Desember lalu, bahkan menyebut Batu Ampar sebagai “terminal neraka.” Meski seluruh pejabat pelabuhan menyadari kondisi buruk ini, Batu Ampar tetap beroperasi tanpa perubahan signifikan selama bertahun-tahun, menunjukkan betapa terminal ini jauh dari konsep yang memanusiakan manusia.

Menariknya, pemerintah memotong Rp10.000 dari setiap tiket penumpang. Uang tersebut masuk ke kas BP Batam, tetapi pendapatan negara bukan pajak itu tampaknya tidak digunakan untuk memperbaiki fasilitas. Dengan kondisi terminal yang buruk, uang itu hanya menunjukkan betapa rendahnya penghargaan terhadap kenyamanan penumpang. Dari Januari hingga November 2024, jumlah penumpang yang melewati Batu Ampar sudah mencapai 280 ribu orang. Mereka membayar, tetapi kenyamanan? Prioritas nomor buntut.

Terminal Bintang 99 Lebih Manusiawi

Semua pihak sepakat, Terminal Batuampar memang tak layak. Muhammad Rudi, Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam, bahkan menggambarkan Terminal Bintang 99 sebagai fasilitas yang “lebih manusiawi”. Namun, pemindahannya justru terjebak dalam labirin birokrasi yang rumit.

Padahal, pengembangan Terminal 99 Persada sendiri merupakan salah satu bagian Rencana Induk Pelabuhan (RIP) Batam sebagaimana yang tercantum dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 77 Tahun 2009.

Yuwangki, pemilik Terminal Bintang 99, menceritakan panjangnya penantian yang ia lalui. Gedung ruang tunggu saja baru selesai dibangun pada 2021. “Sudah bertahun-tahun, modalnya sudah tak terhitung,” katanya menjawab pertanyaan Malaka. Selain sebagai pengusaha terminal, ia juga dikenal sebagai salah satu pemilik hotel dan diskotek terbesar di Batam.

Meski gedung belum sepenuhnya bisa menampung penumpang, Yuwangki tetap berkomitmen untuk memperbaiki fasilitas. “Proses embarkasi dan debarkasi perdana ini membantu kami mengidentifikasi kekurangan dan segera kami benahi. Prioritas kami adalah kenyamanan penumpang,” kata Yuwangki.

Sejumlah pejabat menghadiri peresmian pemindahan lokasi sandar KM Kelud dari Pelabuhan Batuampar ke Pelabuhan Bintang 99, Batam. Foto: Bintang Antonio

Saat ini, Terminal Bintang 99 tengah berbenah. Parkiran diperluas dan shelter baru untuk penumpang yang menunggu taksi atau jemputan sedang dibangun. Yuwangki mengatakan, gedung ruang tunggu yang saat ini baru mampu menampung lebih dari 1.000 orang; akan diperbesar menjadi kapasitas 2.000 orang. “Pembangunannya sudah dimulai. Kalau sudah dimulai, saya rasa tidak akan memakan waktu lama, dan kami tidak mau berlama-lama,” katanya.

Aturan Baru, Sistem Baru

Mungkin, satu-satunya pihak yang mengeluh dalam peresmian pemindahan ini adalah para porter pelabuhan. Mereka kini tidak bisa lagi mematok harga sesuka hati. Tarif resmi porter telah ditetapkan sebesar Rp60 ribu untuk setiap 40 kilogram barang, sesuai yang tertulis di pintu masuk terminal. Namun, beberapa porter mendekati Utopis dan mengeluhkan potongan hingga 30 persen dari tarif tersebut. Mereka merasa aturan baru ini menyulitkan mereka untuk mencari nafkah.

Yuwangki, pemilik Terminal Bintang 99, mengaku tidak mengetahui detail persoalan tersebut. Menurutnya, urusan tarif porter adalah tanggung jawab TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat). “Penggunaan terminal ini adalah konsesi kami dengan BP Batam,” ujarnya.

Malaka sempat berbicara dengan Tika Sihombing, Kepala Porter Terminal Bintang 99, di tengah suasana terminal nan sibuk. Saat itu, ia terlihat sedang menengahi perdebatan antara porter dan petugas Pelni. Masalahnya sederhana, tapi penting: apakah barang bawaan harus langsung dinaikkan ke kapal atau menunggu penumpang tiba? Tika memutuskan barang akan dibiarkan sementara hingga penumpang datang, demi menghindari keluhan.

Terminal Bintang 99 memiliki 218 porter, yang bekerja dengan sistem berbeda dibandingkan Pelabuhan Batuampar. Di pelabuhan lama, tarif angkut tidak diatur secara resmi. Keluhan sudah lama muncul: porter kerap memasang tarif seenaknya. Pada masa arus mudik, mereka bahkan berani meminta hingga Rp500 ribu untuk sekali angkut.

Berbeda dengan itu, Terminal Bintang 99 menerapkan tarif yang jelas. “Menurut saya, sistem ini lebih baik. Tidak ada yang merasa dirugikan,” kata Tika.

Tika meminta anggotanya mematuhi aturan baru. Jika potongan 30 persen ternyata memberatkan, ia berjanji akan mengevaluasinya. Ia menjelaskan bahwa di Batuampar, porter biasanya memperoleh penghasilan sekitar Rp150 ribu per kedatangan kapal di hari biasa, dan bisa mencapai Rp450 ribu saat musim liburan.

Untuk memastikan pemerataan pekerjaan, Tika membagi porter ke dalam kelompok kerja. Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga barang bawaan penumpang. “Yang penting barang tidak tercecer. Kalau ada yang tercecer, porter yang mengangkat harus bertanggung jawab,” ujarnya. Ia berharap perubahan sistem ini tidak hanya menata tarif, tetapi juga mendorong profesionalisme porter di Terminal Bintang 99.

Konflik Kepentingan

Penundaan pemindahan fasilitas ini terasa aneh dan berlarut selama bertahun-tahun. Para pejabat sibuk saling melempar tanggung jawab, berdalih bahwa keputusan ini tak mungkin diambil oleh satu instansi saja.

Komisaris Utama PT Pelni (Persero) Cabang Batam, Muhammad Awaluddin, menegaskan bahwa kerja kolaborasi menjadi kunci utama. “Ini kerja bersama, tidak bisa sendiri. Pelni sebagai operator pelayaran sudah berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk terminal,” katanya. Ia memuji fasilitas Terminal Bintang 99 yang dianggap lebih memadai, dengan kanopi dan ruang tunggu yang melindungi penumpang dari hujan maupun panas.

Pejabat berfoto bersama usai meresmikan penyandaran perdana KM Kelud di Pelabuhan Bintang 99, Batam. Foto: Bintang Antonio

Namun, pertanyaan muncul: mengapa Pelni tidak mendesak perbaikan fasilitas di Batuampar sejak lama? Awaluddin menyebut bahwa pihaknya hanya operator, sementara tanggung jawab peningkatan fasilitas ada di pihak lain. “Proses ini sudah dibahas cukup lama. Kami cari alternatif karena fasilitas di Batuampar tidak optimal,” katanya menjawab pertanyaan Malaka.

Direktur Armada dan Teknik Pelni, Robert Sinaga, mengungkapkan hal serupa. “Kami operator kapal, ingin layanan terintegrasi. Sebenarnya, kami pernah meminta Batuampar ditingkatkan, tapi Pelni tidak punya wewenang soal anggaran,” katanya. Ia menegaskan bahwa Terminal Bintang 99 adalah opsi terbaik untuk meningkatkan kenyamanan penumpang.

Ketika ditanya soal potensi tekanan yang memengaruhi proses pemindahan, Sinaga membantah. “Tidak ada tekanan. Semua ini hasil kesepakatan bersama, setelah mempertimbangkan berbagai aspek,” ujarnya.

Namun, narasi saling lempar tanggung jawab ini justru memperkuat kesan bahwa kepentingan tertentu telah menghalangi perbaikan di Batuampar, hingga akhirnya fasilitas baru harus diandalkan. Apakah ini sekadar soal teknis, atau ada permainan lain di balik layar?

Alasan Klasik BP Batam

Sehari setelah Terminal Bintang 99 diresmikan, Malaka mendapat undangan wawancara eksklusif dengan Direktur Badan Usaha Pelabuhan, Dendi Gustinandar. Dalam wawancara itu, ia memaparkan alasan lambatnya proses pemindahan terminal.

Dendi menjelaskan bahwa penggunaan Pelabuhan Batuampar sebagai terminal Pelni bermula pada 2016. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan saat itu menilai Pelabuhan Beton Sekupang tidak layak untuk pelayaran KM Kelud. Kapal pun dipindahkan ke Batuampar, meski lokasi baru itu lebih mirip terminal kargo daripada terminal penumpang. Ironisnya, alasan keamanan pelayaran justru memaksa penumpang berdesakan di antara kontainer dan alat berat.

“Kami hanya menjalankan perintah dari pusat,” kata Dendi. Ia berdalih, keputusan tersebut berdasarkan standar nasional Kementerian Perhubungan. Tapi solusi ini jelas jauh dari sempurna. Setiap kedatangan kapal Pelni mengacaukan aktivitas bongkar muat di Batu Ampar, menciptakan inefisiensi yang harus diterima dengan dalih keselamatan.

Proses pemindahan menuju Terminal Bintang 99 pun berjalan lambat. Dendi mengakui hambatan perizinan, pengerukan alur, dan uji kelayakan sandar sejak 2021. Sementara itu, penumpang harus puas dengan fasilitas seadanya: tenda darurat dan area terbuka yang nyaris tak layak disebut terminal.

Ketika ditanya apakah ini buah dari mismanagement, Dendi memilih menyebutnya sebagai “pembelajaran.” Ia menambahkan, “Kami bersyukur pelayaran perdana bisa terlaksana. Ini adalah awal untuk perbaikan.”

Pendapatan dari aktivitas Pelni, katanya, kecil: totalnya sekitar Rp1,7 miliar setahun dari biaya labuh, tambat, dan penumpang. Semuanya masuk sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak. Retorika pelayanan publik pun digembar-gemborkan, meski penumpang tetap mengeluh soal fasilitas minim yang tak kunjung berubah.

Saat topik bergeser ke peran KSOP dalam percepatan pemindahan, Dendi mengalihkan pertanyaan dengan menyarankan untuk langsung ditujukan ke KSOP. “Saya tidak punya etika untuk mengomentari hal di luar tanggung jawab saya,” ujarnya. Ia menegaskan, “Semua pihak harus bertanggung jawab bersama. Terima kasih atas bantuan semua pihak, pemindahan terminal berhasil. Ini kesuksesan bersama.”

Malaka tidak bergantung pada iklan penguasa; tak mau tunduk pada titah pengusaha. Kami hanya melayani satu kepentingan: publik. Karena itu, bila Anda merasa cerita-cerita seperti ini penting; bantu kami menjaga nyalanya tetap hidup.