Indonesia adalah negeri yang terpecah-pecah oleh laut, waktu, dan ingatan. Dengan 17.000 pulau yang terserak dari Sabang hingga Merauke, 1.340 suku yang berbicara dalam 700 bahasa, serta ribuan budaya yang takada angka pastinya, tidak mudah membuat seorang tukang kayu di Solo merasa satu napas dengan nelayan di Rempang. Jarak bukan hanya soal geografi. ia adalah jurang persepsi, perbedaan prioritas, dan ketidaktahuan.
Media seharusnya menjadi jembatan, tetapi yang berkualitas di negeri ini bisa dihitung dengan jari. Dari yang sedikit itu, mereka harus mengawasi 38 provinsi; 93 kota otonom; lima kota administrasi; 7.266 kecamatan; 8.506 kelurahan; dan 74.961 desa, yang dihuni oleh 284,44 juta jiwa. Tugas itu suci, sekaligus hampir mustahil.
Kita semua tahu bahwa laporan-laporan panjang dari Tempo (majalah, bukan dotco) atau Majalah Pantau (kini sudah tiada) adalah segelintir media yang layak dibaca. Di luar, kita bisa membaca The New Yorker atau The Intercept. Media-media kelas dunia itu tahu cara membongkar korupsi, menulis ketidakadilan, dan mengguncang tatanan kekuasaan dengan satu laporan. Kami menghormati dan mengakuinya.
Namun, ada satu masalah: mereka terlalu jauh dari Batam.
Liputan mereka luas, terlalu luas. Mereka bicara soal negara ini, dunia ini, dengan jumlah wartawan yang terbatas. Satu kontributor untuk satu provinsi? Itu sama seperti meminta seorang dokter merawat seluruh penduduk yang sakit sekaligus. Banyak masalah di kota ini yang tidak memenuhi standar tragedi nasional dibiarkan menunggu, memburuk, hingga menjadi kanker yang tak terobati. Inilah yang kami sebut “krisis kedekatan”.
Kita takbisa terus berharap pada media Jakarta yang baru datang ketika penderitaan sudah berbentuk visual: air mata, darah, reruntuhan.
Masalahnya bukan sekadar jarak, tetapi juga standar jurnalisme lokal yang memalukan. Batam punya ratusan, bahkan ribuan media yang mengaku menjalankan kerja-kerja peliputan. Namun, mari jujur, apakah kota ini punya standar emas dalam pelaporan jurnalistik?
Sejauh ini belum, tetapi mulai hari ini standar itu bernama Malaka.

Normal Tidak Selalu Benar
Setiap media seharusnya memiliki visi yang jelas. Inilah visi kami: mengubah cara kota ini berpikir. Kami percaya, banyak masalah di kota ini bertahan bukan karena sulit diselesaikan, tetapi karena terlalu sering dianggap biasa, padahal sebenarnya menyakitkan.
Ambil contoh perbedaan Batam dan Singapura. Jarak kita darinya cuma sepelemparan batu, tetapi mental kita seakan jutaan mil jauhnya. Setiap kali orang bicara tentang kemajuan negara itu: mulai dari kebersihannya, teknologinya, hingga penegak hukumnya yang sulit disuap, kita hanya mengangguk pasrah sambil berkata, “Wajar, Singapura.” Seolah-olah keterbelakangan kita adalah takdir.
Untuk itulah kami ingin mengajak semua orang melihat ulang apa yang selama ini dianggap normal. Pejabat punya banyak istri dan hidup mewah, misalnya. Dari dulu, ini tidak pernah dipersoalkan, padahal jelas-jelas menunjukkan tanda-tanda korupsi. Kami akan menuliskannya satu per satu. Supaya publik tahu, sadar, dan marah.
Tapi sebelum itu, jurnalisme harus kami perbaiki lebih dulu. Percuma kami bersuara kalau orang sudah tidak percaya berita. Maka, misi kami adalah mengembalikan kepercayaan publik pada jurnalisme.

Bukan karena kami merasa paling benar, tetapi karena kami tahu kepercayaan itu sudah lama rusak. Penyebabnya macam-macam: lembaga pengawas yang gagal menjalankan fungsinya, organisasi pers yang takjelas berdiri untuk apa, pemilik media yang memperdaya wartawan, dan wartawan yang ikut memperdaya publik.
Tidak Lebih Hebat dari Siapa pun
Malaka tidak dilahirkan dalam suasana yang tenang. Kami lahir dari ketidakpercayaan, dari cibiran, dari rasa curiga, dan rasa muak. Maka jalan yang kami pilih bukan karena ia mudah, tetapi karena kami tidak mau jadi bagian dari kebiasaan yang busuk.
Tiga bulan sebelum edisi perdana ini terbit, kami sudah melihat bagaimana propaganda kebenaran bekerja. Nama Malaka beredar di warung kopi, di kantor pemerintahan, hingga ruang redaksi media arus utama. Sebagian datang dengan tepukan di bahu, “Kalian gila, tetapi ini jenis kegilaan yang kita butuhkan.” Sebagian lagi, terutama dari mulut wartawan, mencibir dengan pesimisme, “Lihat saja, sebentar lagi juga mati.”
Ah, luar biasa. Bahkan sebelum benar-benar ada, Malaka sudah dinubuatkan masuk liang lahat.
Kami tak terkejut. Barangkali kalian juga tidak. Di Batam, keberanian adalah komoditas langka, sementara “jilatan” lebih praktis dan menguntungkan. Kami menghormati setiap pilihan. Menantang cara kerja lama memang selalu melelahkan. Namun, izinkan kami berbagi satu rahasia: justru keraguan itulah yang menjadi bahan bakar.

Takada yang lebih memotivasi daripada diragukan. Kami tahu risikonya, dan memang takada jaminan kami akan berhasil. Tapi satu hal yang pasti: jika harus gagal, kami akan gagal dengan gaya.
Namun, ini bukan soal menang atau kalah. Sejak awal, kami tidak pernah ingin bersaing dengan siapa pun. Justru sebaliknya, kami ingin mengajak semua orang bekerja dengan standar yang jelas, agar kota ini punya ekosistem media yang sehat dan saling menguatkan.
Sikap itu kami wujudkan bahkan dari hal kecil. Itulah sebabnya kami menulis nama Malaka pada logo dengan huruf kecil. Huruf kecil itu adalah pilihan yang disengaja, bukan sekadar estetika. Ia menegaskan sikap egaliter. Ini cara kami untuk bilang, “Kami tidak lebih hebat dari siapa pun.”
Dan untuk para pembaca yang baik, simpanlah janji ini: sebelum kami “dimatikan”, kami akan lebih dulu membuat marah mereka yang ingin agar cerita hanya diceritakan dengan versi mereka, atau tidak usah diceritakan sama sekali.